BALADA KOPI SUSU
“Kopi ini rasanya makin pahit. Gelap sekelam waktu membawa kita kedalam lorong yang tak berujung. Pahitnya mewakili jiwa yang menelan simalakama. Termasuk getirnya hidup, teguk saja. Biarlah kepahitannya melewati setiap inci kerongkongan kita. Nah, seperti kopi yang kamu pesan ini.” Ia mulai membuatku kembali menikmati secangkir kopi yang baru saja datang. Benar saja, kopi yang aku pesan memang pahit sekali. Lama tidak berjumpa, pasti banyak cerita yang aku lewatkan. Aku tak sabar. “Ehm jadi kopi ini bukan sekedar kopi?” tanyaku. Setelah menyeruput kopinya, mas Pras menjawab. “yah, begitulah adanya,” jawabnya singkat. Aku mulai berpikir, sepertinya aku juga pernah menelan kepahitan ini empat tahun yang lalu.
Pandanganku mulai kosong, terduduk di sudut kelas. Aku mulai mencari-cari sebuah kebenaran yang sebenarnya hanya prakiraan. Atau mungkin saja hanya sebuah ilusi. Tetapi dia nyata, senyata angin yang melenggangkan debu di halaman sekolah. Sesegar udara yang merasuk sampai paru. Sejatinya, aku merasakan semua begitu nyata. Aku masih berharap lurus dan terus. Sampai Meita datang menghampiri “kamu tak usah menghiraukan pembicaraan mereka Raya.” Meita mencoba menenangkanku, tapi kali ini dia tak berhasil. “Mei, lalu apa arti dari tanda-tanda ini? tanyaku mulai berkaca-kaca. “Kau ingat saat kakiku terkilir saat pelajaran olahraga. Mas Pras sampai menggendongku menuju ke UKS, ia memijat kakiku, mengambilkan minum, dan mengantarkan aku pulang.” Meita hanya diam mendengarkan setiap curahanku dengan sabar. “Kau ingat saat aku ulang tahun, ia menggandeng tanganku ke lapangan basket, memberi kecupan selamat ulang tahun. Memegang pundakku saat hujan deras menerjang sekolah, kita berdua memakai satu payung yang sama. Lalu kamu anggap semua itu apa Mei, kalau bukan cinta?” aku tak bisa membendung air mata dan amarah ini. Derasnya air mata ini membuat seragam putih abu-abuku basah kuyup. Tatapan Meita seperti menelanjangiku. Ia tak percaya bagaimana mungkin sobat dekatnya menjadi serapuh ini. Tangisku pecah bersama gerimis biru yang mengharu sore itu. Mas Pras milik mbak Dewi, bukan milikku.
“Kalau Raya sendiri, gimana? Apa sudah ada yang nungguin?” Mas Pras membuyarkan lamunanku. “Belum ada mas, padahal aku sudah memberinya isyarat dari dulu?” Jawabku. “Logikanya isyarat itu membutuhkan jarak yang dekat, dan kamu butuh itu.” Ia meneguk kembali kopi hangatnya. Uap tipisnya terlihat jelas, diterjang sinar lampu benderang. “ia kali ya mas, mungkin jaraknya kejauhan.” Aku kecewa. Ia melanjutkan “Masih ada kemungkinan kedua, bisa saja kamu tidak menyadarinya. Ternyata dia itu di pelupuk mata, sehingga kamu juga sulit melihatnya.” Tidakkah kau sadari bahwa selama ini aku menunggumu mas. Sekarang kau ada di pelupuk mataku, semakin terasa jelas pupus ini aku rasakan. Entahlah, kau merasakan isyarat ini atau tidak. Sudah lama aku terbelenggu dalam penantian palsu ini. Jujur, masih ada secercah cahaya yang hidup dalam setiap hembusan nafas ini.
Ternyata mbak Dewi datang menghampiri kami, baru aku ketahui bahwa mereka akan menikah minggu depan. “Dek Raya besok datang ya ke pernikahan kami,” kata mbak Dewi ramah. “Iya, mbak Insyaallah.” Mereka berdua pamit, lalu pergi. Pergi meninggalkanku bersama secangkir kepahitan hati. Benar-benar hatiku dirundung mendung yang sangat mendung. Tiba-tiba saja sepasang telapak tangan lebar menutup mataku, aku mencermati setiap detail lekukan tangannya. “Yoda kan?” tebakku. “Ih tau ajah ga seru ah,” jawabnya polos. “Kamu ngapain disini?” “Aku mau berenang, ya mau minumlah. Emang Café ini milik gundulnya mbahmu?”Ia tertawa.“Ini pesanannya mas, silahkan dinikmati” kata pelayan. “Kok kamu pesan susu? Gak pesen kopi ajah?” Tanyaku. “Ray, kita udah berteman lama. Kamu tau sendiri lo aku suka yang manis-manis. Dan aku tau juga lo kamu suka kopi. Apalagi kopi pahit kaya gini, jujur aku ga doyan.” Jawabnya serius. Ia langsung menuangkan susunya ke dalam cangkir kopiku. “coba rasain sekarang,” tantang Yoda. Aku menyeruput kopi ini dengan saksama, merasakan setiap kelembutannya, tiap tetes susunya mampu mengalahkan pahit kopi ini. “ Ijinkan aku menuangkan susu ini ke dalam cangkirmu. Paling tidak aku bisa memberikan manisnya susu dalam secangkir kopimu setiap hari setiap saat.” Aku menatap dalam Yoda, begitu juga Yoda. Lelaki berperawakan tinggi ini terlihat menatapku dalam, terasa sampai lubuk hati. Kami saling melemparkan senyum, menatap satu sama lain. Kemudian larut dalam obrolan hangat senja kala itu. Dan ini memang jawaban dari KuasaNya, secangkir kopi susu sempurna.
Nitikan Baru, 25 Juni 2013.
Witanti Azizah
Komentar
Posting Komentar