Pisau Dapur


PISAU DAPUR
            Aku terlahir sebagai maha karya. Dari tangan seorang kakek pandai besi yang mengutamakan kualitas. Dengan sepenuh hati ia membuatku, agar menjadi sebuah benda yang bermanfaat. Dimasukkanlah aku yang hanya sebatang besi biasa ke sebuah tabung berisikan api yang panasnya membuat tubuhku berubah menjadi bercahaya, oranye. Aku mengerang kesakitan, panasnya merasuk jiwaku, terbakar dan membara. Sungguh sangat panas. Kemudian tepiku diasah hingga tajam, dipukul-pukul dan berubah mengkilat seperti kilatan petir bila terkena cahaya. Lahirlah aku sebagai sebuah pisau dapur. Kakek renta itupun tersenyum, merasakan kepuasan tak terhingga.
Senja oranye merekah hingga sinarnya mampu menembus dinding bambu tempat kakek tinggal. Ia terlihat sedang mengelus elus jenggotnya, dan meraihku. Ia mulai mengelapku dengan mesra, memperlakukanku seperti manusia yang sedang menimang bayinya yang baru lahir. Menanam sebuah harapan agar aku digunakan semestinya. Digunakan untuk memotong sayuran, buah atau hal-hal lain yang positif. Kakek melihatku seolah-olah bak wanita yang menawan, dilihatnya aku secara mendetail. Sampai-sampai kakek bisa melihat dirinya sendiri saking mengkilatnya diriku, ia bercermin. Uban dan keriputnya nampak jelas terlihat, dan ia tersenyum kembali.
            “tok….tok……tok.....” suara pintu terdengar. Kakek dengan badannya yang terlihat rapuh, tetapi menyimpan berjuta-juta kekuatan untuk terus berkarya dan mempertahankan hidupnya supaya tidak tergerus oleh jaman serba metropolis ini.
            “saya sudah menunggu bapak dari tadi, silahkan masuk” kakek tersenyum.
            Laki-laki itu gemuk, berkumis tipis, dan angkuh. Ia mengenakan baju dan topi serba putih. “ ini bayarannya, kalau aku akan memesan lagi aku akan datang kesini” menaruh uangnya di meja dan segera meraihku. Tersenyum melihatku, membawaku pergi dari sini. Tak tega melihat tua renta itu sendirian di gubuk reot sebuah perkampungan yang dikelilingi banyak bukit.
            “selamat tinggal kakek, aku merindukanmu.” ucapan perpisahan dariku. Kakek hanya melambaikan tangannya untukku. Aku tak tahu kemana tujuanku selanjutnya, aku pasrahkan pada tuanku sekarang.
            Sampailah di sebuah kota metropolitan. Kota yang mempunyai banyak lampu-lampu bercahaya di malam hari, gedung-gedung pencakar langit yang menjulang dan bertebaran disana sini. Hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang menambah riuh suasana malam ini. Mobil pria ini berhenti di sebuah restoran mewah bernama “Lorenzo Restaurant and Café.” Dia segera mengambilku dan membawaku masuk. Aku terkagum ketika kami hendak masuk pintunya terbuka secara otomatis. Mungkin restoran ini memiliki ilmu sihir atau semacamnya. Entahlah, begitu masuk langsung terdengar alunan piano menyatu dengan biola, flute dan harpa terdengar harmonis. Membius semua orang yang berada di ruangan ini, seolah melayang dalam  romantisme. Di dekat panggung berdiri beberapa laki-laki dan perempuan menggerakan tubuh mereka secara perlahan mengikuti irama klasik Beethoven. Para pemain memakai jas, berdasi kupu-kupu hitam, sangat lihai memainkan alat musik. Banyak lilin menyala di meja-meja makan, tertata rapi seluruh peralatan makan yang mengkilat. Para tamu pun tak kalah mewah, para lelaki memakai jas hitam dan para perempuan memakai gaun indah nan mahal. Pria gemuk ini membawaku ke dapur yang luas, langsung mencuciku dan langsung digunakan untuk memotong berbagai macam sayuran dan buah. Disinilah berbagai macam makanan enak nan mahal diracik. Para koki membuatnya dengan sepenuh jiwa supaya menghasilkan masakan berkualitas tinggi yang dapat membuat penikmatnya terasa melayang dalam kenikmatan yang ditimbulkannya. Ketika sedang memotong mentimun terdengar seseorang menyapa.
            “master Chou Yun, apakah anda sudah mempersiapkan menu untuk lomba memasak besok?, saya rasa koki terbaik seperti anda sudah mempersiapkan semuanya untuk melawan saya.” Pria jangkung  ini mencoba mengejek.
            “lihat saja besok, chief Daniel” jawab pria bernama Chou acuh tak acuh terhadap bualan Daniel.
            Mendengar itu Daaniel terlihat marah, dan meninggalkan chief Chou meracik makanan. Jarum jam berdetak menunjuk pukul sebelas malam, Chou masih berada di dapur untuk mempersiapkan lomba besok padahal restaurant itu sudah tutup, lomba untuk menentukan siapa yang berhak menjadi kepala koki di restaurant ternama di kota besar itu. Ia sedang mempersiapkan bahan-bahan dan tak lupa untuk mengasahku. Diam-diam ada sepasang mata yang mengawasi kami, pandanganya tajam terlihat membara. Chou meninggalkanku untuk menuju ke lemari pendingin mengambil daging. Pemilik sepasang mata tadi mulai mengendap-endap menghampiriku, meraihku dan kemudian mulai menghampiri Chou.
            Aku berteriak “jangan…jangan…aku mohon…jangan!” mencoba mengalihkan perhatian Chou tapi gagal. Ia tetap bersiul, dan menoleh ke arah belakang. Melihat hal itu pria yang menggenggamku bersembunyi. Chou menoleh ke kanan dan ke kiri tapi nihil, aku rasa Chou merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Lalu ia melanjutkan kembali mengambil daging sambil bersiul. Secara tiba-tiba pria ini menusukkanku tepat di jantung Chou, berkali-kali di perut dan dada. “tidak….tidak…aku mohon hentikan” teriakku. Menusuk kembali punggung Chou. Chou membalikan badan dan seketika itu juga ia terjatuh. Tubuhku berlumuran darah, darah segar yang mulai mengucur di sekujur tubuh tuanku. “aku membunuh tuanku sendiri” samar-samar dalam kegelapan aku mulai mengenali wajah biadab itu, wajah yang hanya memberi senyum sinis padaku. Ia adalah si bajingan Daniel. Setan bersorak dan  menguasai jiwanya dengan nafsu biadab, menutup matanya dengan kekuasaan. Belum cukup, ia memotong-motong badan Chou sedemikian rupa sehingga menyerupai daging sapi pada umumnya. Sungguh pembunuh berdarah dingin, sambil ketakutan ia terus memotong dan memotong. Hanya jarum jam yang berdentang, menjadi saksi bisu peristiwa pahit itu.
            “kenapa aku dilahirkan berlumuran dosa, hiks….hiks…hiks… kakek menginginkanku untuk menjadi pisau yang berguna bagi manusia tapi apa? Aku hanya pembunuh, yang tak tau berterima kasih. Hiks…hiks…” menangis menyesali apa yang baru saja terjadi.
            Sementara itu Daniel sibuk membungkus badan Chou, menaruhnya di sebuah kantong plastik. Si beringas ini membawaku dan potongan daging ini keluar. Kami pergi menuju ke sebuah sungai. Ia menceburkankanku bersama dengan potongan daging. Kami hanyut, terbawa arus deras sungai ini. Aku terus menangis, terisak-isak hingga membawaku dan potongan daging terdampar di pinggiran sungai keesokan harinya. Sesosok hitam legam dan kurus menemukanku, kelihatannya ia seorang pemulung. Ia membawa puluhan plastik bekas minuman, dan kardus-kardus coklat di goninya. Anak yang memakai kaos merah yang rombeng itu menoleh ke arah plastik yang berada tidak jauh dari tempat ia menemukanku. Ia melihat anjing yang sedang mengoyak-ngoyak isi plastik. Kemudian mendekati anjing itu, ia tersentak karena anjing itu menggigit tangan manusia. Laki-laki pemulung itu berlari-lari dan berteriak ketakutan “tolong…tolong… ada mayat.” Tidak lama kemudian, polisi mulai datang dan memungut daging Chou, serta mengambilku menjadi barang bukti. Aku teronggok, diantara ribuan barang bukti yang terkumpul di sebuah laci. Berkarat tak berdaya. Meskipun begitu aku tak dapat melupakan pengalaman pahit yang menyayat dan akan terus menghantuiku. Tak bosan-bosannya aku menangisi Chou yang aku yakin dia sedang tersenyum melihatku dari surga.
            Sepuluh tahun kemudian, laci tempat penyimpanan terbuka pada malam hari. Diam-diam sesosok manusia membukanya. Matanya memperlihatkan kebencian yang tertutup nafsu akan kekuasaan belaka tanpa memikirkan sisi manusiawi bahwa setiap orang berhak menghirup udara bebas, sama seperti tatapan biadab Daniel kepadaku. Mengendap-endap masuk ke dapur, kemudian aku diasah kembali hingga tajam namun tak setajam yang dulu. Sesudah membuat secangkir kopi, ia menyembunyikanku di balik jaket yang ia kenakan. Tubuh kekar dan tinggi itu menuju ruang bertuliskan “RUANG BARESKRIM” mengetuk pintu, kemudian masuk. Mempersilahkan orang yang sedang mengetik di meja itu untuk minum. Dan tiba-tiba menusukanku kembali tepat di jantungnya.



Purwokerto, March 2009
  
           
           
 

Komentar

Postingan Populer