Jarum Jam
Jarum Jam
Aku
terbungkam. Dalam sekejap seluruh darah ini mendidih. Dada ini menjadi sesak
mendengar sebuah pengakuan pahit. Mulut pun tak kuasa berucap. Mengelus dada sambil terus beristighfar
menunggu suamiku pulang. Aku sudah mencium logat tak wajar dari mas Uje tadi.
Tidak biasanya ia ngantor jam lima pagi. Saat fajar tiba, ia sudah bersiap
dengan motor bututnya.
“Gak
sarapan dulu mas, ada sayur lodeh kesukaanmu lho.” Tawarku.
“Nanti
saja dikantor, masalahnya aku mau ada meeting
jam tujuh di kantor pusat,” sambil menyeruput secangkir teh. Memang jarak
kantor pusat tidaklah jauh, tetapi kalau sudah pagi sedikit pasti terjebak
macet. Aku mengantar sampai depan pintu sambil membawakan tas kerjanya.
Kurapikan kerah kemeja putih itu. Tiba-tiba mas Uje meraih tanganku,
menggenggam erat.
“Aku
mencintaimu Sari,” Uje memelukku mesra. Memandangiku seakan ia berat untuk
meninggalkanku. Segera ia mengecup keningku dan pergi. Dari pinggir jalan aku
melihat sosoknya semakin hilang ditelan kabut tebal fajar pagi. Sungguh aneh,
tidak biasanya ia melakukan ini. Suara Reza membuyarkan lamunanku.
“Mama,
papa udah pergi ya?” Si kecil memanggil sambil mengucek-ngucek matanya.
“Udah,
dede mandi dulu ya.” Ajakku.
***
Tepat
pukul sepuluh aku menjemput anak semata wayangku yang masih duduk di bangku TK.
Langsung mengajaknya ke pasar untuk berbelanja. Siang ini aku akan memasak
masakan favorit Reza, ayam goreng. Di perjalanan pulang masih terngiang sikap
mas Uje yang begitu manis. Ah entahlah, toh aku juga menikmatinya.
Kulihat
foto album yang tergeletak di meja kerja suamiku. Tiap lembarnya menyimpan
kenangan-kenangan indah yang masih melekat kuat di setiap neutron otakku. Foto
pernikahan yang mesra, foto bulan madu kami, hingga Reza kecil hadir meramaikan
suasana. Sejak mas Uje bekerja di perusahaan swasta Jepang, ia dituntut untuk
selalu ke luar kota tiap bulannya. Maklum saja, sebagai manager personalia ia
harus menginterview calon pekerja yang berada di daerah di seluruh Indonesia. Ini membuat hatiku was-was, tapi aku percaya
penuh. Setiap ucapannya meyakinkanku, bahwa tak ada wanita lain selain aku. Sungguh
beruntung. Tak ada lagi lelaki yang sama seperti mas Jefri. Aku tersenyum
bersyukur atas nikmat yang telah Engkau berikan. Aku yakin Tuhan pasti
memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang selalu bersujud. Rengekan Reza
membuyarkanku dari lamunan panjang. Saatnya tidur siang, tawanya yang
menggelitik selalu menemaniku disaat sepi mulai merasuk.
***
Ting
tong, ting tong. Bel membangunkanku dari tidur siang yang lelap. Segera menuju
ruang tamu sambil merapikan daster yang kupakai. Begitu dibuka, terlihat wanita
muda berambut panjang memandang ke
arahku.
“Assallamualaikum,”
ia memberi salam.
“Wallaikummusalam,
ada perlu apa ya mbak?” tanyaku ramah. “Mari silahkan duduk.” Ia masuk sambil
melihat tiap sudut rumah. Sebenarnya gadis ini terlihat cantik, namun
sepertinya ia sedang dirundung duka. Terlihat cekungan hitam bertengger di
matannya.
“Maaf,
ada perlu apa ya mbak?” Memulai
pembicaraan.
“Saya
Riana, panggil saja Ana.” Ia memperkenalkan diri. “Benar ini rumah pak
Jefriyatmanto?”
Deg,
jantungku berdegup kencang. Beribu-ribu pertanyaan menghantui benakku, siapa
gadis belia ini? apa tujuannya datang kesini? Aku gelisah.
“Saya,
ingin bertemu pak Jefri.” Muram. “Meminta pertanggung jawaban,” raut mukanya
berubah garang.
“Apa
maksud anda?” mengernyitkan dahi. Jangan-jangan apa yang aku khawatirkan
terjadi. Ana mungkin istri kedua suamiku. Sabar, sabarkan aku ya Robbi.
“Beberapa
bulan yang lalu, saya telpon bapak. Meminta agar ia mau menjadi Wali nikah
saya.” Ia mulai bercerita.
“Jadi
kamu adalah anak dari mas…” memotong pembicaraan.
“Benar,
ia sudah berjanji akan menikahkan saya. Huh tapi omong kosong. Saya malu bu,
malu. Di hari akad, bapak gak datang bu.” Ana menangis hebat. “Saya batal
menikah, gara-gara bapak.” Hujatnya.
Mulutku
bungkam, tubuh tak berdaya menerima kenyataan pahit ini. Aku tidak menyangka,
mas Uje tega mendua. Lelaki biadab, sungguh bajingan. Sepuluh tahun sudah kami
menikah, tak masalah kami terpaut umur yang cukup fantastis lima belas tahun.
Menginjak usiaku yang ketiga puluh, kami baru dikaruniai anak laki-laki. Selama
itu juga aku terus dibohongi. Gadis itu
mengharu biru di depan mataku.
“Padahal kami sudah mengadakan pesta
besar-besaran bu, tapi kami gagal menikah.” Lanjutnya terisak-isak. “Saya hanya
meminta ia bisa menjadi wali nikah, tidak lebih. Sedikitpun saya dan ibu tidak
pernah mengharapkan materi dari bapak.” Tangisannya makin menjadi-jadi. “Ibu
saya sejak lama telah mengetahui bapak menikah dengan anda. Tapi ibu tak tega
melihat keadaan anda yang sedang mengandung. Ibu memilih terus diam dan
bersabar.”
Mendengarkan
cerita saja telingaku perih, ditambah hatiku hancur berkeping-keping. Aku tak mau menangisi
orang seperti si Uje. Hanya membuang tenaga, tapi aku tak bisa membendung
terlalu lama air mata perih ini. Tangisan ini bukan untuk Uje, tetapi sakit
menusuk hatiku lebih dari dalamnya palung. Tak kan bisa kumaafkan diri ini, karena
menghancurkan biduk rumah tangga orang. Bisa-bisanya Uje menyakiti hati Mira,
ibu Riana. Hati yang amat mulia, tak kan ada satupun wanita yang mau diduakan,
tak terkecuali aku. Namun dengan ketulusan hati Mira, ia sanggup menerima
keadaan. Aku hanya terisak merasakan .
“Pagi
ini, ibu saya meninggal.” Suaranya mulai melemah, terlalu banyak air mata yang
menetes. “Sebenarnya alasan ibu meninggal bukanlah karena penyakit jantung,
tapi dibunuh perlahan oleh bapak. Karena sakit hati yang bertahun-tahun
menumpuk, dan hari inilah ibu melepas semua sakitnya dengan cara…” ia menjerit.
Kemudian ia melesat pergi menggunakan
motor maticnya. Aku masih terdiam
menunggu keparat itu pulang.
***
“Sari,
aku pulang.” Sahut Uje. Aku sibuk membereskan semua bajuku dan Reza. “Kamu mau
kemana?” sambil memandangku. Tak kujawab. Tetap diam dan cuek.
“Sar,
kamu mau kemana?” bentaknya.
“Kemana
aja,” jutek.
“Jawab!”
kali ini teriak.
Aku
melempar baju ke Uje. “Kamu berani-beraninya bentak aku, pembohong. Apa selama
ini tidak cukup aku melayani kamu pulang kerja, udah makan belum mas, mau aku
buatkan kopi ndak mas, tiap malam tanpa mengeluh. Sejak kamu menjadi
pengangguran, berapa banyak tabunganku yang sudah kau habiskan untuk bisnis
yang gak jelas! Begitu punya pekerjaan malah gak pernah pulang. Tai!” amarahku
tak bisa terbendung.
“Kamu
ngomong apa?” polos Uje.
“Riana
kesini, iya dia anak gadismu kan? Kamu memang benar-benar keparat. Kenapa kamu
gak mau menikahkan anak kandungmu sendiri! istri pertamamu meninggal tadi pagi.
Semuanya gara gara kamu!” dengan refleks aku menampar Uje.
“Aku
mencintaimu, Sar. Aku sayang Reza. Tolong jangan tinggalkan aku Sar.” Uje
memohon.
“Minggir
jangan halangi aku Jefri, jangan halangi aku.” Teriakku.
“Maafkan
aku, Sar. Sari tolong jangan tinggalkan aku.” Tangisnya.
Aku
acuhkan rengekkan Uje, aku langsung menggendong Reza yang sedang tidur masuk ke
dalam mobil. Apa yang dirasakan Uje, tak sebanding dengan luka Mira dan yang aku rasakan. Tekadku bulat
meninggalkan Uje. Biarlah aku sendiri menatap matahari menunggu waktuku tiba.
Yah, karena waktu adalah rahasia yang tak pernah putus bicara, selalu bisa
terbuka menjawab kebenaran. Biarlah semua kenangan itu tersimpan mengikuti
porosnya. Sampai terhenti kembali pada sebuah titik. Semua itu telah terjawab,
Uje gagal menyimpan rahasia. Seperti jarum jam yang hanya bisa berdiri diantara
pilihannya. Padahal ada hati yang terluka dan tersakiti. Namun cinta tanpa
kejujuran adalah percuma.
Kotagede,
15 Desember 2011
Komentar
Posting Komentar