My Rectoverso Part 2
My Rectoverso (Part 2)
GIGI
Aku
tidak menyadari bahwa hati ini sudah termiliki entah sejak kapan. Termiliki
oleh seorang gadis yang aku pun tak tahu warna kulitnya, warna rambutnya,
bahkan warna matanya pun sama sekali tak terbayangkan. Dia Gigi.
November
Entah
mengapa sore itu Septi, sobatku tiba-tiba menelpon.
“Aji,
ada yang mau kenalan sama kamu. Entar dia hubungin kamu.” Sobatku ini rasanya
sedang terburu-buru mungkin pulsanya limit. Aku hanya menjawab sekenanya
“Hei,
kamu kemana aja ga pernah keliatan? Halo..haloo..” Tut tut secepat kilat ia menutup teleponnya.
Jujur aku hanya melongo melihat tingkah Septi yang ngaco abis. Beberapa menit
kemudian terdengar dering message dari hp jadulku N 3315. Walaupun jadul alias
jaman dulu hape kesayanganku ini tahan banting karena beberapa kali terbanting
atau dibanting, disengaja maupun enggak Alhamdulilah masih kuat. Maklum aku ini
masih tergolong manusia LABIL emosi, marah sedikit langsung banting hp. Hape
ini juga tahan air mulai dari masuk
sayur sop, sayur bening, bak mandi nyampe toilet pun masih sehat walafiat.
“Assalamualaikum,
saya temennya Septi Mas. Perkenalkan nama saya Gigi.” tulisnya
“Wallaikumussalam,
wah unik ya namanya Gigi pasti jodohnya ama gusi kan?” jawabku meledek.
“Itu
cuma nama panggilan kok mas, saya EKI YUGI.” Aku langsung balas smsnya.
“Oh,
lucu ya namanya. Saya Anto Aziz. Panggil aja Aji ^_^” Jawabku sambil kububuhi
simbol smiley supaya terlihat ramah.
Diketahui
ternyata Gigi sedang mencari kenalan ya sekedar untuk teman curhat. Awalnya
kami hanya saling mengirim pesan lewat sms, menanyakan kabar, keadaan ayah dan
ibu, bahkan dia menanyakan skripsiku maklum aku ini mahasiswa semester akhir.
Kaget bukan kepalang setelah saling mengirim pesan secara intens aku baru tahu
bahwa dia adalah seorang guru SD seorang PNS tentunya. Gigi juga menjabat
menjadi kepala sekolahnya. Wow ternyata ia seorang workaholic. Yang paling
mengejutkan ia sudah berumur kepala tiga atau berumur 30an. Hem cukup membuat
jantung ini berhenti sejenak. Dibanding denganku umur kami berdua terpaut 7
tahun tapi tak mengapalah sekedar untuk menjadi teman ngobrol. Kami selalu
smsan 24 hours nonstop. Gigi memang mengasyikan.
Awal
Desember
Bulan
ini merupakan bulan tersibuk sekaligus bulan yang kami tunggu-tunggu. Iya sibuk
mempersiapkan graduation ceremony
namun inilah bulan yang dinanti kedua orang tuaku. Penantian mereka selama
empat tahun kini terbayar sudah. Paling tidak aku sudah mencapai satu tingkat
impianku yaitu membahagiakan orang tuaku dengan cara menyelesaikan program S1
di salah satu Universitas swasta di Yogyakarta. Masih banyak memang tingkatan
tingkatan yang belum aku capai, tak apalah satu per satu pasti akan terlampaui
juga. Dan aku pun resmi menjadi Anto Aziz, S.Pd. keren juga embel-embel dibelakang
namaku
Di
Minggu yang cerah ini seperti biasa keluargaku disibukkan dengan kegiatan
rutinitas kami, bersih-bersih. Malas memang, harusnya di hari Minggu ini aku
bisa main bersama sohib SMA. Tapi ya gak apa-apalah, sekalian olahraga
pengecilan lemak perut. Badanku memang agak sedikit tambun memang, tapi tidak
sedikit cewe-cewe diluar sana bertekuk lutut padaku. Itu dulu pas badanku kekar
seperti orang-orang militer.
“Mas
Aji, hapenya bunyi,” teriak adikku Zulfa. Aku segera berlari meraih N 3315ku.
Tidak ada nama yang terpampang artinya nomer baru yang belum tersimpan.
Daripada dihantui rasa penasaran yang teramat sangat aku buru-buru menekan
tombol hijau.
“Assalamualaikum
wr.wb mas Aji ini Gigi.” lirihnya lembut.
“Wa
Wa Waalaikumusalam wr.wb, Gigi.” Aku terbata-bata kaget dia akhirnya
menelponku. Suaranya bagus ya walaupun seperti tante-tante tapi ia masih gadis.
Gadis dengan suara mengalun-alun seperti sepoi-sepoi angin menyejukkan nyiur di
pinggiran pantai dikala senja merekah. Suaranya seperti pemalu yang
menyembunyikan senyumannya di balik untaian helai rambutnya yang panjang,
lebat. Aku suka caranya memanggilku ‘mas’, ada sebuah rasa hormat yang tertanam
di jiwanya mengingat aku hanyalah lelaki yang lebih muda dibanding dia. Paru-paru
ini seperti mendapat udara segar di pegunungan, darahku mengalir lancar, mataku
berbinar-binar saking senangnya neutron-neutron di otakku tidak mampu memberi
sinyal ketenggorakanku alhasil aku menjawab salamnya dengan terbata-bata.
“Septi
sudah cerita banyak tentang mas Aji. Ehm ndak apa-apa kan saya menelpon mas?”
tanyanya.
“Gak
papa dek, untuk menyambung silaturahmi kan sah-sah saja.” Aku memanggilnya
‘dek’ hanya untuk mengimbangi juga untuk memperlihatkan sisi kedewasaanku.
Jujur aku suka diriku yang seperti ini, terkesan lelaki yang suka melindungi.
Seminggu, dua minggu kami sering menghubungi lewat telepon. Dia memang wanita
karir yang total dalam menangani semua hal. Wanita yang mandiri, penuh semangat
juga solehah. Sebagai seorang guru dia aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang
berhubungan di pendidikan, bahkan di masjid desanya ia juga rajin mengikuti
majelis taklim. Sungguh aku berhadapan dengan wanita yang luar biasa, berbeda
denganku hanya mahasiswa yang bingung mencari pekerjaan agar predikat ‘sarjana’
ku terselamatkan dari cacian orang-orang yang menganggap banyak
‘sarjana-sarjana’ nganggur di luar sana.
Aku
juga baru mengetahui dia memang gadis desa yang lugu, suka membantu orang
tuanya. Kadang kalau telponku tidak diangkat ia sering beralasan sedang mencari
kayu bakar di hutan. Ia juga sering mencari ikan di sungai kecil didekat
rumahnya. Sungguh baru pertama kali aku mengenal gadis senatural itu, pendiam,
pemalu, dan penuh misteri yang belum aku ungkap semua. Sering aku terhanyut dalam rangkaian-rangkaian ilusi
tentang Gigi. Berimajinasi sendiri seolah-olah dia mempunyai kulit sawo matang,
berlesung pipi, berambut panjang, dan warna bola matanya hitam. Sungguh gadis
pujaanku yang satu ini memang membuat rasa penasaranku timbul. Hanya dia yang
ada pikiranku, mengisi ruang-ruang kosong hati ini. Dia adalah Gigi.
Gigi
memang pemalu, buktinya yang selalu memulai pembicaraan adalah aku. Tapi ia
kadang penuh perhatian juga. Kadang ia mengirim pesan bisa dibilang ya semacam
bentuk perhatian kecil. ‘Sudah sampai rumah apa belum?, sudah pulang apa belum?
Sudah makan apa belum?’ Memang terlihat begitu datar dan biasa saja namun
menurutku itu luar biasa bermakna. Dari kebiasaan ini aku berani menyimpulkan
bahwa Gigi memikirkan aku juga disana. Begitu pula aku, yang selalu
membayangkannya setiap detik, setiap
menit darah ini mengalir. Semua hanya tentang kau EKI YUGI.
Pertengahan
Desember
Tiga
hari ini Gigi tidak menghubungiku. Hari-hariku semakin hambar tak bersemangat.
Ratusan kali aku menghubunginya, hanya operator perempuan yang menjawab “Nomor
yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar servis area.” Hanya itu
yang kudengar. Anehnya lagi, walaupun aku sudah tahu nomernya mati, aku selalu
berharap suatu saat nanti ia menjawab telponku. Minggu ke tiga di bulan
desember ini tak ada tanda Gigi akan
menghubungiku. Aku resah.
Aku
putuskan untuk menemuinya di kota kecil di Wonosobo bernama Kerteg. Aku
langsung mengiriminya pesan. Dia merespon dengan sukacita.
“Iya
mas, Gigi tunggu. Gigi senang ndengernya,”jawabnya. Setelah memanaskan motor
dan mengecek bensin aku niatkan Bismillah. Tiba-tiba terdengar dering hpku
ternyata dari kepala sekolah. Beliau berpesan agar aku dapat mewakili beliau
datang acara seminar. Iya mau tidak mau aku membatalkan janjiku dengan Gigi.
Aku sadar tindakanku ini akan menyakiti hatinya. Ternyata benar dia tak
memberiku respon apapun. Maafkan aku Gigi.
Malam
Tahun Baru 2014
Keadaanya
mulai berubah. Gigi jarang mengaktifkan hpna, aku berbaik sangka mungkin dia
sibuk dengan jabatannya sebagai kepala sekolah. Hanya sesekali aku mengirim
pesan ah berkali-kali tepatnya, dia hanya membacanya saja tak satu pun ia
membalas pesanku. Tidak ada yang spesial di malam tahun baru ini. Aku hanya berharap
agar Gigi menghubungiku.
Dering
handphoneku berkali-kali terdengar. Aku terbangun dari tidurku, kulihat jarum
jam mengarah ke angka 1. Oh sudah masuk tahun 2014 rupanya. Yah maklum pemuda
jomblo sepertiku memang tidak tertarik acara hura-hura di luar sana. Aku sudah
bisa menebak kota Purwokerto akan dibanjiri ratusan kendaraan bermotor hanya
untuk sebuah tradisi ceremonial barat yaitu menghitung waktu mundur untuk
menyambut tahun baru. Ribuan kembang api menghiasi langit serta tidak
ketinggalan riuhnya terompet menambah semarak tahun baru. Dan itu terjadi tiap
tahun dan anehnya mereka tidak bosan. Gigi menelponku, wah ternyata Allah tidak
tidur. Dia mendengarkan doaku tadi malam alias tahun lalu. Alhamdulilah ucapku
senang. Buru-buru aku mengangkat telponnya.
“
Assalamu’alaikum mas Aji, sedang apa? Sedang tahun baruan ya?” tanyanya lembut.
“
Wa’alaikumussalam, ndak dek ini tadi sedang tidur.” Jawabku sedikit bersuara
segar.
“
Alhamdulilah, orang Islam memang gak boleh tahun Baruan mas. Wah Gigi jadi
ganggu mas Aji. Ya sudah lanjutkan saja bubunya.” Ucapnya kilat langsung
menutup telponnya. Hem pendengar agak kecewa memang karena cuma dan hanya 45
detik ia menelpon. Tak apa yang penting Gigi juga sedang memikirkanku disana.
Awal tahun ini memang luar biasa.
1
Januari 2014
Lagi-lagi
Gigi menelponku ah rejeki memang tidak kemana. Ia tiba-tiba menanyakan alamat
rumahku. Entahlah untuk apa, dan aku ingat akan janjiku yang kemarin sempat
tertunda.
“Maaf
Gigi, aku masih belum bisa datang ke rumahmu. Banyak urusan yang belum aku
selesaikan di kantor.”
“Ndak
usah dipikirkan mas, suatu saat nanti kita akan bertemu. Dan itu pasti.”
Jawabnya yakin. Akupun meyakininya dengan segenap hati ini. Ah biarlah Allah
mempertemukan kita. Pembicaraaan kami hanya berlangsung lima menit saja tak
lebih. Zulfa tiba-tiba memulai keonaran.
“Mas
ini aneh, lha wong belum ketemu sama orangnya udah jatuh cinta duluan.”
“Halah
kamu anak kecil tau apa tentang cinta?” ledekku.
“Daripada
ngalamun mending nyuci aja mas, kaos futsalmu bau keringet.” Zulfa kecil
mengingatkanku dengan kata ‘cinta’. Timbul pertanyaan yang mungkin baru aku
sadari ‘apa aku ini sedang jatuh cinta?’ Pertanyaan ini jujur melayang-layang
seharian dalam otakku. Apa benar aku jatuh cinta dengan Gigi? Dengan gadis
bernama Eki Yugi? Hah, lebih baik aku mencuci baju.
“Mas
Aji selamat ya? ada dua orang cewek ke
rumah.” Zulfa memberi tahuku sambil tertawa. Aku langsung meninggalkan
cucianku. Blazer hitamku langsung aku semprot dengan banyak parfume supaya lebih
wangi, buru-buru aku raih sisir dan bercermin. “Apa benar Gigi berada di luar
sana?” hatiku berdegup kencang, terdengar sayup-sayup suara dua orang wanita
bersama ibu di ruang tamu.
Aku
mulai memberanikan diri menuju ke ruang tamu. Terlihat dua orang wanita
langsung memandang ke arahku. Oh Ya Allah aku super duper deg-deggan. Sementara
itu ibuku masih mengajak mereka berdua ngobrol. Aku mendengarkan obrolan ibu,
menganalisa setiap jaawaban-jawaban yang keluar dari dua orang wanita ini. Jantungku
makin kencang terpacu ketika aku bisa mengenali suara salah satu dari mereka. Ibu meninggalkan kami bertiga di ruang tamu.
Kami hening sejenak. Tentu saja aku mulai memberanikan diri memulai
pembicaraan.
“Kamu
Gigi kan?” aku menunjuk seorang wanita yang duduk didepanku. Dia hanya
tersenyum manis dan menjawab “Masa c, coba tebak mana hayo?” jawabnya meledek.
Sebenarnya
dari awal aku sudah bisa menebak Gigi ya wanita yang berada tepat didepanku.
Aku amati ia memiliki hidung mancung, kulitnya hitam manis exsotis, dan yang
paling penting warna matanya hitam. Kami sempat saling berpandangan. Gigi
menatapku dalam, begitupun aku. Entahlah, di saat yang bersamaan aku merasa
menjadi lelaki yang terkuat sekaligus terlemah di waktu yang bersamaan hanya
karena berada dihadapanmu Gigi. Dan aku tidak menyangka dia berkerudung, bonus
yang sungguh tak terduga. Aku tercengang kagum, dia cantik. Sungguh pertemuan
ini memang tak akan kulupa seumur hidupku.
“Gigi
kenapa datang kesini? Biar mas aja yang datang ke rumahmu.” Tanyaku.
“Mas
Aji, sebenarnya saya ada keperluan seminar di Purwokerto jadi saya sempatkan
kesini boleh kan?” Aku hanya tersenyum, begitu juga gadis disebelahnya. Ia
Sovia, adik sepupu Septi temanku. Kami larut dalam obrolan hangat, tetapi yang
sangat aktif bicara hanya Sovia. Gigi
hanya sedikit mengobrol denganku. Yah, dia memang gadis pemalu yang aku suka.
Di tengah pembicaraan kadang kami kehabisan topik, sehingga hanya senyum yang
kami tunjukkan. Dan Gigi mempunyai senyum yang tidak biasa, sungguh indah. Hatiku
meleleh melihatnya bertingkah manis. Tak terasa hari semakin sore. Mereka
pamit, hem sedih rasanya. Inginku agar kau tetap disini Gigi. Kami bersalaman
aku menyentuh tangannya yang lembut tak kalah seperti suaranya yang biasa aku
dengar di telpon. Ia melempar senyum manisnya, dan aku tak menyangka itu adalah
terakhir aku melihatnya.
Aku
pandangi terus sapu tangan Gigi yang tertinggal kemarin. Katanya suruh disimpan
dulu. Akan kusimpan dan kujaga baik-baik. Kujaga pula hatiku hanya untukmu. Setelah
pertemuan itu Gigi jarang menghubungiku. Nomernya lebih sering tidak aktif.
Kemanakah gadis pujaanku ini? Betul kata Zulfa, aku memang jatuh hati padamu
Gigi. Ratusan pesan aku kirim, tapi nihil dia tak membalas. Ribuan kali aku
menelpon, tak satupun dijawab ada apa gerangan denganmu?
Februari
Sekarang
aku memiliki kebiasaan baru, aku mengerjakan semua tugasku menghadap ke
jendela. Berharap agar Gigi datang menemuiku kembali. Dan menunggu, terus dan
terus menunggu tak akan ada kata lelah untuk menunggumu. Menatap lurus ke
jendela, melihat di luar sana hanya sebatang pohon jati yang tumbuh kokoh di
samping rumah. Pohon penantang musim. Daunnya mulai berguguran, karena ini
memang awal dari musim panas. Dan Gigi masih belum muncul.
Maret
Jati
itu mulai menggunduli daunnya, terik matahari memang dahsyat di bulan ini.
Secara otomatis nafsu makanku juga sudah mulai berkurang. Ya aku merasakannya badanku
agak terasa enteng. Terlihat wajahku sudah mulai tirus. Belum ada hasil yang
kudapat, hapeku hening.
April,
Mei
Perlahan-lahan
Gigi menghilang. Masih nihil, belum ada pertanda Gigi akan menghubungiku. Ayah
dan ibu mulai gelisah atas kebiasaanku ini. Aku mulai senang selalu menghadap
ke jendela sambil memegang sapu tangan biru ini. Kadang aku memandang langit
malam yang bertabur bintang diatas sana. Bulan purnama pun terlihat begitu
memukau malam ini. Berharap kau juga
melihat apa yang kulihat malam ini agar pandangan kita menyatu di atas sana.
Yah aku dan kau Gigi.
Juni,
Juli
Ribuan
pesan sudah aku kirim ke handphonenya bahkan sudah jutaan kali aku menelponnya
tetap tidak ada jawaban satupun. Kali ini nomernya benar-benar mati. Aku juga
dilanda insomnia, penyakit yang membuat penderitanya tak bisa tidur. Hanya
melihat jendela, melihat pohon jati yang sudah kepayahan bertahan di lima bulan
kemarau panjang ini. Aku pun sama dengan pohon jati itu, kering dan payah.
Mendamba suatu keajaiban yaitu hujan dan Gigi.
Agustus
Aku
seperti kehilangan gairah hidup. Lebih suka menyendiri tidak hanya dirumah
bahkan di kantorpun aku nyaman seperti ini. Belum lagi kantung mata ku sudah
melebar seperti mata panda. Aku menjadi bulan-bulanan seisi kantor, katanya
cintaku ini bodoh tak bisa di logika. Bukan cinta namanya kalo pake logika.
Kuacuhkan semuanya.
September
Tidak
seperti September ceria yang sedang aku dengarkan. Semua suram. Aku semakin tak
terurus, kubiarkan jenggot dan kumisku memanjang. Untuk sementara aku
tanggalkan sejenak parfume kebanggaanku. Belum ada kabar apapun dari Gigi.
Orang tuaku sudah tak tahan dengan sikap anehku akhir-akhir ini.
“Aji
baik-baik saja pak, bu. Percayalah.” Ungkapku meyakinkan mereka berdua. Zulfa
jadi jarang menyapaku. Mungkin dia takut dengan keadaanku seperti ini. kadang
kala dia mengajak ku bermain layang-layang di lapangan. Aku menolaknya. Maafkan
mamas Aji dek.
Oktober
Pohon
jati di luar sana mulai memunculkan kuncup seminya. Di bulan ini hujan mulai
turun memberi semua mahluk harapan termasuk pohon jati di luar sana tapi tidak
denganku. Gigi belum memberi tanda. Kali ini hampir habis energiku untuk
membuktikan padamu ada cinta sejati
disini. Atau lebih baik aku menyerah saja. Temanku Wawan mengunjungiku di suatu
sore. Dia kaget, aku hanya diam menatap jendela. Dia membiru haru padaku. Baru
kali ini aku dipeluk sohibku Wawan. Peluknya erat. Tetes demi tetes air mata
Wawan membasahi bajuku.
“Bro
aku gak tega melihat kamu kaya gini, kurus, kantung matamu sudah melebar.
Hentikan semua Bull shit ini.” Wawan
berucap sambil mengeluarkan sebuah kartu dari tas ranselnya. Ia menyerahkanya
ke pangkuanku. Sebuah undangan merah, perlahan-lahan aku buka. Kubaca cermat
setiap detail. ‘akan menikah Eki Yugi dengan Budi Wanoto Prasetya’Runtuh sudah
semua yang kubangun dengan tulus dan penuh harap. Tak mampu lagi, tangisku
pecah di pundak Wawan. Wawan hanya bisa membisu. Ibuku memeluk kami berdua juga
berlinangan air mata. Ayahku hanya berada di ruangan kerjanya, menyembunyikan
tangisnya. Aku larut dalam kesedihan ini. Penantianku musnah dan tak berarti
lagi.
Ada
banyak cara Allah mendatangkan cinta, mungkin Gigi merupakan salah satunya.
Penantian panjang ini memang telah sirna, namun lukana masih membekas dalam.
Ternyata keajaiban sedang tidak berpihak padaku. Tapi memang hati kecil ini tak
bisa dibohongi bahwa aku mencintainya. Berharap kebahagiaan selalu
menghampirinya. Dan aku ingin seperti pohon jati selalu bertahan kuat di setiap
musim. Terima kasih Eki Yugi, kau telah memberi warna dalam hidupku walau hanya
sebentar.
CILONGOK,
5 Januari 2014
bagus banget alurnya mba....seolah nyata.
BalasHapustapi feelingku kayak ADA YANG TERBALIK
he..he..he..
My Rectoverso Part 2
Hahahah mas itu fiktif belaka. :D
Hapus