Elegi


                


                Jarum jam menunjuk angka 6. Gemericik air susu coklat  terdengar sedang dituang.  Telur mata sapi sudah tersedia di meja makan. Wanita berambut sebahu itu sedang sibuk menyeduh teh dalam sebuah teko. Kemudian menuangkannya ke sebuah cangkir. Di bagian lain rumah ini, terlihat lelaki menyisir rambut sambil merapikan seragam putih abu-abunya. Mendekati wanita tadi.
            “Pagi ma, ehm sarapannya enak banget nich kayaknya. Adek kemana nich mah kok lum turun?” lalu meneguk susu coklatnya.
            “Rio, Rio cuci tangan dulu to… tunggu dek Loli turun. Kita sarapan bareng-bareng,” sibuk menyiapkan meja makan.
            “Iya ni, kakak tu main sikat aja. Egois banget dech!” seorang gadis cilik menyeret kursi bersiap untuk makan.
            “Mamah, adek Loli bekalnya udah siap belum?” kata gadis cilik berambut panjang tadi.
            “Iya sayang, roti bakar untuk Loli tersayang.” Ungkap wanita itu lembut.
            Mereka memulai sarapan. Terlihat sebuah kursi kosong di meja makan. Ya mereka sarapan tanpa ditemani sosok seorang ayah. Enam bulan sudah suami Karin tiada. Mau tak mau ia harus menanggalkan status ‘ibu rumah tangga’ dan mengurus perusahaan yang ditinggal almarhum suaminya. Menjadi wanita karir tidaklah mudah untuk membagi waktu. Apalagi mengurus anak-anaknya yang masih mengenyam bangku sekolah, Rio dan Loli. Setelah selesai sarapan, mereka beranjak menuju mobil. Karin mengantar anak-anaknya untuk sekolah. Kebetulan Rio dan Loli bersekolah di kawasan yang sama. Jadi Karin tidak repot-repot menjemput di lain tempat yang berbeda karena mereka bersekolah di satu kawasan yang sama yang juga dinaungi oleh satu yayasan.         Sesampainya di kantor ia telah ditunggu bertumpuk-tumpuk laporan yang sedang menunggu untuk dikoreksi ulang. Karin menyalakan komputernya. Sambil menunggu layar muncul, ia terhening sejenak. Melihat bingkai foto yang tersusun rapi. Disana terpampang gagah foto suaminya. Terpajang pula foto Rio, Loli, dan dirinya.
            “Mas Aryo.” Tanpa sadar ia menitikan air mata sambil memegang bingkai.
            Haryo Dinata korban tewas akibat kecelakaan yang terjadi di Bandung enam bulan yang lalu. Ia meninggal dalam perjalanan pulang menuju Jakarta. Karin sangat mencintainya. Ia sangat terpukul, apalagi mendengar Loli menangis saat detik-detik penguburan suaminya.
            “Papah…papah..jangan tinggalin Loli pah…” sambil meronta-ronta seperti tangannya hendak menggapai Aryo. “Papah udah janji mau ajak Loli ke Jogja pah, papah…Loli sayang papah.”
            Dengan segera Karin memeluk Loli, biarlah Loli menangis dipeluknya. Berharap kesedihan Loli berpindah untuknya. Dadanya terasa sakit, bagai dihantam seribu panah. Sedangkan Rio hanya memegang tangan ibunya. Seperti berusaha meredamkan kegalauan Karin. Tapi ia tak sanggup, karena ia juga tak bisa meredam kepedihannya sendiri. Seruan dzikir mengiringi pemakaman siang itu.
           
***
           
            “Apa bagaimana mungkin itu terjadi Zan?” Karin beranjak dari meja kerjanya.
            “Kita harus meliquidasi cabang kita yang berada di Cikarang.” Jelas Mizan melanjutkan. “Kita berada dalam keadaan yang sulit Karin, kalau kau tak mau memberhentikan karyawan.”
            “Mereka punya keluarga yang harus dinafkahi, aku gak mau keluarga mereka terlantar seperti aku.” Mata Karin terlihat berkaca-kaca. “Andai saja mas Aryo ada disini, ini ga akan terjadi Zan.” Sambil melempar berapa lembaran kertas.
            Mizan mendekap Karin yang sudah tak bisa menyembunyikan kegalauan hatinya. Hangat, seolah ia mengerti apa yang dirasakan janda beranak dua itu. Karin merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia mendekap erat, seakan tak mau ia lepas. Isak tangis Presdir menggema di seluruh ruangan. Ia ingin melampiaskan semua kesedihannya sekarang.
            “Aku  akan  membantumu sebisa mungkin, sekuat tenaga aku.” Ungkap Mizan pelan.
            Bukan kali ini saja manager bagian produksi itu mendekap tubuh mungil Karin, ia sudah merasakannya. Mizan sahabat Karin dari SMA. Pahit getir, mnis asamnya hidup pernah mereka telan  bersama. Disaat Aryo melanjutkan studinya di luar negeri Mizanlah yang selalu mendampinginya. Bukan sebagai pacar tetapi sebagai sahabat.

***
           
            Suara dentang jarum jam mengalun menandakan tepat tengah malam. Rong-rongan suara mobil terdengar. Rio tersentak, bangun dari tidurnya nan lelap seraya beranjak dari ranjang. Ia geram melihat ibunya diantar seorang lelaki berperawakan tinggi mengunakan jazz putih. Sosok itu tidak lain adalah om Mizan, teman dekat almarhum ayahnya sendiri. Ia tidak menyangka begitu cepat ibunya melupakan tragedi pahit yang baru saja mereka alami. Dengan gundah ia kembali  menarik selimut tidurnya, 
             Hijaunya daun dengan titik-titik embun terlihat bersinar cemerlang memantulkan sinar mentari pagi. Melambai-lambai seraya mengajak seluruh alam raya terbangun dari mimpi yang tak berujung. Burung berkicau menambah semarak pagi ini. Mengajak semua orang untuk bersyukur atas nikmat kebahagiaan yang datang pada hari ini. Namun sebaliknya, Rio memajang wajah aneh. Menimbulkan beberapa pertanyaan bagi siapa saja yang memandangnya.
            “Kamu sakit nak?” Karin menempelkan telapak tangannya di kening Rio. Tak ada balasan.
            “Kakak kok diem aja!” Loli menguyah roti. Rio geleng kepala dan segera beranjak dari kursinya. Kemudian pergi tanpa penjelasan, apalagi sarapan. Karin hanya terdiam.
            “Kok kakak gak bareng Loli mah!” Loli heran.
            “Barangkali janjian ama temennya,” jelas Karin sibuk menuang susu.
            Senja oranye merekah di ufuk barat. Saatnya siang mengucap selamat datang pada sang sore. Dan begitu pula sebaliknya, sore mengucapkan selamat tinggal pada siang menawan. Di beranda rumah terlihat Loli sedang merapikan mainanya. Karin resah menunggu satu-satunya anak lelaki yang ia punya. Tiga jam sudah ia menunggu. Ini  sudah tidak bisa ditolerir, pikirnya. Terlihat swift merah menepi. Rio muncul dengan santainya, tidak menampakkan rasa bersalahnya.
            “Rio, kenapa jam segini baru pulang.” Karin marah.
            “Aku latihan basket mah,” Rio sambil membuka ikatan sepatunya.
            “Sampai jam embilan malam? Kamu sudah tidak disiplin lagi rupanya.” Sambil melipat kedua tangannya Karin berharap mendapatkan alasan yang tepat dari bocah ABG itu.
            “Mamah berkaca duluan ajah dech, setelah itu baru negor Rio.” Segera beranjak menuju ke kamarnya.
            “Rio, mama mau bicara dulu Rio…” kesal.
Rio acuh dan meluapkan segala kekesalannya ke semua benda di dekatnya, sampai-sampai dibantingnya pintu kamar. Loli yang diam-diam mengintip dari balik pintu kamarnya ketakutan. Ia mendekap erat teddy bear miliknya. Kemudian menitikkan air mata. Sedih. Ia berusaha mencari tahu apa yang terjadi lewat kakaknya.
            “Kakak!” sapanya.
            “Kenapa adek kesini? Ntar dimarahin mama lho,” ancam Rio.
            “Iih aku gak takut kak, Loli kesini mo nanya kenapa kakak bertindak seperti tadi?” polos.
            “Mama punya pengganti papa,” terang kakak hobi ngebasket ini. “Lo gak percaya adek bisa lihat kok, hari sabtu pasti mama pulang malam terus.”
Loli bagai tersambar petir, boneka teddy bear miliknya terlepas dari dekapan. Lama termenung sekedar untuk mengingat ayahnya. Mengenang masa-masa indah papa saat masih hidup. Rio memanggil adiknya itu. Tetapi tak ada jawaban sedikitpun. Adiknya mematung hampa. Titik air mata mulai muncul dari kedua sudut matanya. Rio meraih adik kesayangannya ke dalam peluk hangat seorang kakak. Tak tega melihat isak tangis sedih adiknya. Dibawalah si mungil ke kamarnya. Rio mencoba membuat hati adiknya tenang.
            “Loli gak mau papa baru kak,” disela tangisannya.
            “Biar nanti kakak yang bilang mama ya. Kamu bubu aja dulu, yar besok ga kesiangan ya.” Kakak mulai menidurkan Loli.
Hujan deras mengiringi lelapnya tidur Loli. Rio tertunduk diam di dekat jendela. Ia juga tak kalah rindu terhadap ayahnya. Ia teringat ayah sering mengajarkan Rio teknik bermain bola di halaman depan. Menangislah Rio. Bahwa ia sadar tak akan ada lagi pria yang dapat menggantikan sosok ayahnya. Ayahnya hanya satu. Tak akan ada lagi ayah yang bisa menyamai ayahnya. Ingin rasanya ia menjerit kepada hujan agar mengembalikan ayahnya. Tapi hal itu adalah percuma. Karena hujan tak bisa mengembalikan semuanya. Itu hanya air yang jatuh dari langit atas kehendaknya. Kehendak Allah yang Maha agung. Zat yang menguasai seluruh alam semesta dan isinya, tidak terkecuali ayahnya. Ia langsung mendekap bingkai foto Aryo. Ia mengharu biru.

***
           
            “Pagi sayang, wah anak mama udah ganteng dan cantik.” Seraya mengecup kening kedua anaknya. Mereka berdua terdiam. “Kok pada diem semua, ayo kita berangkat sekolah.” sambil menghidupkan mesin mobil.
Di perjalanan menuju ke sekolah tak ada yang bertutur satu kata pun. Setelah sampai kedua anaknya langsung menuju ke kelas. Tanpa berkomentar satu sama lain. Karin mulai berpikir, apakah gerangan yang membuat anaknya menjadi seperti ini?
            “Zan, aku gak tau kenapa mereka bertindak seperti itu.” Karin berkeluh kesah.
            “Sayang, kamu harus cari tahu apa sebabnya,” ungkap Mizan sambil membaca daftar menu. “Kamu mau aku pesenin nasi cumi asam manis?”
            “Boleh, aku curiga jangan-jangan mereka sudah tahu hubungan kita.” Karin menyeruput jus jeruknya.
            “Kalaupun tahu,  mereka tidak mungkin aakan bersikap seperti itu. justru mereka bahagia mendapatkan ayah lagi.” Menenangkan hati Karin. “Sudahlah, makan saja dulu nanti kita bicarakan lagi.”
Mereka berdua menikmati hidangan yang disediakan sambil mempertontonkan kemesraan. Sudah satu minggu mereka memadu kasih. Karin sendiri kaget, ternyata Mizan mencintainya dari SMA dulu. Ia tau betul sifat Mizan. Baik, sopan, sangat menghargai wanita, dan yang paling penting ia menyukai anak-anak. Karena ia juga harus mencari sosok ayah yang disukai kedua anaknya. Tapi ia merasa ragu apakah Rio dan Loli akan menerima Mizan. Ia mencari waktu yang tepat untuk memberitahukan semuanya.
            Sesampainya di rumah, Mizan mengantar sampai depan pintu. Ia tak mau singgah sejenak untuk melepas lelah karena sudah larut malam. Layaknya  seorang kekasih, Mizan mendaratkan sebuah kecup di kening Karin. Ia tersipu malu hendak bagaimana. Mereka berdua tertawa mesra. Seperti berada dalam masa lalu yang sulit untuk kembali untuk mengulang semuanya. Tiba-tiba terdengar suara Loli berteriak.
            “Mama…” Terkejut, kemudian berlari menuju kamarnya.  Karina tersentak dan segera mengejar si bungsu. Rio yang dari tadi sembunyi di balik pintu akhirnya muncul di hadapan Mizan. Tatapan matanya mengandung kebencian yang teramat sangat. Mizan juga tidak tahu harus melakukan apa.
            “Om lihat sendiri bagaimana kesedihan kami?” Ucap  Rio pelan. Air matanya tertahan di pelupuk mata.
            “Ehm kamu belum tidur Rio?” Mizan berbasa basi.
            “Makam papa belum segenap setahun, bahkan tanahnya masih pun belum kering om. Berani-beraninya om memanfaatkan situasi seperti ini.” Anak lelaki itu berusaha melindungi ibunya. “Aku harap om sekarang juga pergi dari sini, pergi…” Mengusir Mizan. Tak ada yang bisa dilakukan. Ucapan bocah itu benar. Tak seharusnya ia menjalin hubungan disaat kepiluan melanda. Dengan segera ia pergi meninggalkan rumah itu. Sementara di kamar terdengar isak tangis Loli yang begitu kencang. Adalah Loli yang paling tergores dalam kejadian ini.
            “Loli gak mau ma, “ mencoba menolak pelukan dari ibunya.
            “Sayang, mama sayang Loli.” Mencoba memeluk Loli.
            Tangisnya begitu kencang, menginginkan agar ayahnya kembali. “Loli mau papa, Loli mau papa.” “Papa…pa…” isak tangisnya membuat sedih suasana.
            “Iya nak, maafin mama sayang.” Menenangkan hati anaknya.
Rio yang mendengar tangisan adiknya akhirnya menitikkan air mata juga. Ia tak bisa membendung segala kesedihan ini. Ia segera menuju ke lantai atas dimana mama dan adiknya berada. Ia segera memeluk kedua wanita yang paling ia cintai. Loli tak henti-hentinya mengucap kata “papa”.  Rumah itu larut dalam haru biru yang berkelanjutan. Foto keluarga yang penuh dengan kegembiraan pun sekejap luntur oleh semua hal yang tak mereka dambakan. Kesedihan mereka tumpah ruah membentuk semacam elegi yang tak berujung. Semua terasa hambar tanpa orang tersayang disisi kita. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan semua kepahitan ini selain menyerahkannya kepada Allah Yang Maha penyayang dan pengasih.

***

            Sejak peristiwa itu Karin merasa hari-harinya buram tak berwarna. Satu-satunya hal yang membuat ia bahagia adalah kedua anaknya dan Mizan kekasihnya. Ia harus memilih hal yang sangat sulit untuk dilaluinya. Ia melepas Mizan. Sudah satu tahun ini ia tak bekerja lagi di perusahaan. Mizan menghormati keputusan Karin walau dengan berat hati. Cintanya tulus pada Karin. Karena ia tahu ini adalah keputusan paling sulit yang harus ia jalani.
                        “Apa kamu yakin akan keputusan ini?” Mizan menatap wanitanya.
            “Merekalah yang terpenting dalam hidupku,” isak janda itu.
            “Tapi kenapa mereka tidak memikirkn kebahagianmu juga?” ungkap perjaka itu sambil memeluknya. Karin tak bisa menjawab. Itulah kali terakhir ia bertemu Mizan. Hari-harinya penuh kepura-puraan. Ia tersenyum bahagia di depan anaknya. Tapi setelahnya ia merajut perih sendiri tanpa ditemani pujaan hati. Perih yang ia tanam sampai palung hatinya selama tiga tahun lebih ia sembunyikan rapi. Kini semua itu telah berdampak pada kesehatannya. Ia mengidap penyakit liver. Dan harus memaksanya dirawat di rumah sakit.  Inilah puncak dari semua keperihan yang ia alami.
            “Ma, ini Loli ma.” Sedih.
            “Ma, Rio bakal disini njagain mama. Kami sayang mama.” Kakak merapikan selimut.
Dua hari sudah Karin tak sadarkan diri. Kedua anaknya terus menjaga dan merawat ibunya. Mereka berdua terus memanjatkan doa bagi ibunya. Mereka menginginkan ibunya lekas sembuh. Dan bisa merajut kebahagiaan lagi di rumah peninggalan ayah mereka.
            Waktu tak akan pernah kembali berputar ke masa lampau. Tak akan ada satu manusiapun yang bisa mengulang kembali masa lalu tak terkecuali Rio dan Loli. Mereka sadar akan satu hal, jangan pernah egois. Karin sempat mengucap nama Mizan saat berada di rumah sakit. Sekarang, angin semilir menerpa rambut panjang Loli. Selendang hitam melingkar di kepalanya. Sudah ribuan kali ia mengusap tissue ke kedua pipinya yang merah merona. Rio tak kuasa melihat foto Karin yang ia pegang. Semerbak aroma kamboja memenuhi seluruh padang mati. Wangi mawar  bersama melati beradu. Mendungnya awan turut menandakan bahwa ia juga ikut berduka hari ini. Kini elegi hitam terus menaungi kedua anak almarhumah Karina Prastiwi. Melodinya terus pancarkan kekecewaan dalam jiwa mereka. Andai mereka tahu, andai mereka mengerti, andai mereka memahami, tak akan terjadi lagi sebuah elegi.
                                                            Kota Gede Yogyakarta, 3 Novemberber 2011

Komentar

Postingan Populer